Masa Depan Penyiaran Radio

Masa Depan Penyiaran Radio


Media penyiaran radio berjaya pada masanya. Era kejayaan radio di Indonesia terjadi sejak era perjuangan kemerdekaan hingga tahun 2000-an.

Popularitas penyiaran radio meredup sejak kehadiran dan perkembangan internet. Namun, radio tetap bertahan berkat kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman, yaitu dengan memanfaatkan streaming radio internet.

Jumlah pendengar radio menurun drastis, tapi tidak habis. Pendengar radio masih banyak. Kehadiran dan perkembangan podcast --yang disebut sebagai generasi baru radio-- menunjukkan konten audio (terutama musik) masih populer.

Dari sisi bisnis (iklan), kue iklan radio yang dulu tergerus televisi, kini makin kecil tergerus media internet. Pebisnis radio harus berinovasi dan menyesuaikan teknologi agar tetap eksis.

Teknologi Radio

Teknologi radio dikenal dengan istilah trilogi penyiaran, yaitu studio, transmitter, dan pesawat penerima. Secara teknis, terselenggaranya penyiaran radio dan televisi ditentukan oleh ketiga unsur tersebut dengan dukungan spektrum frekuensi.

Frekuensi yang digunakan penyiaran radio lebih banyak mengunakan gelombang short wave (SW) dan long wave (LW). 

Perangkat penerima siaran radio era dulu bahkan ada yang mencapai 12 band, dari SW yang terbagi dari SW1-SW9 dan ditambah LW, AM, dan FM.

Pada dasarnya, gelombang radio dapat digolongkan menurut panjang gelombangnya, yakni panjang (long wave/LW), sedang (medium wave/MW), pendek (SW/short wave); dan panjang gelombang sangat pendek atau frekuensi sangat tinggi (very high frequency/VHF). 

Gelombang LW, MW, dan SW dirambatkan dengan memodulasi amplitudonya sehingga dikenal dengan sistem AM (amplitude modulation), sedangkan gelombang VHF dirambatkan dengan memodulasi frekuensi (frequency modulation/FM).

Gelombang-gelombang AM dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer sehingga dapat mencapai daerah lebih jauh. Sedangkan gelombang FM tidak dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer. Gelombang ini langsung dipancarkan dari tempat pemancar ke penerima.

Ketika melewati penghalang seperti gedung-gedung tinggi, kualitas gelombang yang sampai ke penerima akan berkurang banyak. Radio akan sulit menerima gelombang FM, terutama jika terhalang banyak bangunan atau pohon tinggi, tetapi radio ini masih dapat menerima gelombang AM, sebab secara teori gelombang AM bisa merambat pada medium di sekelilingnya.

Frekuensi FM, AM, MW, dan SW merupakan frekuensi analog yang dipergunakan selama ini. 

Tren ke depan adalah frekuensi digital dengan teknologi DAB+, DAB-T, DAB-T2 (Digital Audio Broadcasting Terrestrial) yang memungkinkan pancaran sinyal radio secara digital dengan kualitas jernih dibandingkan frekuensi analog.

Selain itu, teknologi streaming radio juga sudah diterapkan oleh hampir semua radio di tanah air untuk menjangkau pendengar hingga mancanegara. 

Penyedia jasa operator layanan internet dan aplikasi konten digital juga sudah dimanfaatkan oleh stasiun radio untuk meluaskan jangkauan siarannya.

Meskipun teknologi streaming semakin banyak diminati pendengar, hingga saat ini siaran analog berbasis frekuensi FM dan AM masih dipancarkan di kota domisili tempat radio bersiaran.

Siaran radio juga dipancarkan melalui satelit. Siaran radio yang dipancarkan lewat satelit ini bisa disimak siarannya secara gratis menggunakan perangkat Set Top Box (STB) atau penerima sinyal satelit yang ditangkap dengan parabola.

Program Siaran Populer 

Industri radio di Indonesia mengalami era emas pada 1980-1990 dengan beragam program favorit pendengar. 

Drama radio, salah satunya, merupakan program yang ditunggu-tunggu pendengar. Serial drama radio Saur Sepuh karya Niki Kosasih, misalnya, bahkan memiliki fans di berbagai daerah. 

Fanatisme pendengar bahkan sampai tumpah ruah di lapangan atau stadion untuk sekadar menemui bintang drama radio. Meskipun pada akhirnya serial ini dibuat film layar lebar di era 1990-an, namun cita rasa drama radio masih lebih melegenda.

Demikian pula pada serial Tutur Tinular dan Misteri Gunung Merapi juga menjadi salah satu ikon program radio yang melegenda dan memiliki banyak penggemar. Program sandiwara radio ini juga menjadi satu paket produk iklan yang gencar berpromosi pada saat itu.

Salah satu keunggulan radio adalah terjalinnya kedekatan pendengar dan penyiar. Pada masa lalu, pendengar datang ke studio radio dan menuliskan kartu pendengar untuk berkirim pesan ke pendengar lain dan sekadar memesan lagu favorit untuk diputar. 

Datang ke studio radio pada saat itu tidak sekadar menulis pesan, namun lebih dari itu pendengar berupaya menjalin komunikasi langsung dengan kru radio dan penyiarnya. 

Kini, teknologi pesan singkat dan aplikasi percakapan mengubah cara-cara lama kedekatan pendengar, penyiar, dan stasiun radio.

Meskipun demikian, teknologi yang ada sekarang justru menjadi kesempatan untuk bernostalgia antara pendengar lama dan lembaga radio yang sering dia dengarkan di masa lalu. 

Tidak jarang pendengar lama yang kini berada di kota yang berbeda dengan lokasi radio yang dulu sering didengarkan, kembali bernostalgia kembali dengan stasiun radionya melalui streaming. 

Hal ini membuktikan bahwa teknologi digital tidak akan membunuh media elektronik konvensional. Sebab, media konvensional yang mampu beradaptasi dan mengaplikasikan teknologi baru tersebut akan tetap bertahan.

Pendengar Radio

Banyak pendapat yang menyatakan kependengaran radio ini perlahan-lahan mulai turun, seiring dengan bertumbuhnya media online saat ini. 

Data Nielsen Radio Audience Measurement kuartal ketiga 2016 menunjukkan hal yang sebaliknya. Waktu mendengarkan radio per minggu, rupanya bertumbuh dari tahun ke tahun. 

Jika di tahun 2014 pendengar radio hanya menghabiskan waktu mendengarkan radio 16 jam per minggu, hasil ini justru meningkat terus di tahun 2015 (16 jam 14 menit per minggu) dan tahun 2016 (16 jam 18 menit).

Angka rata-rata tersebut mayoritas disumbangkan oleh Generasi X dengan rentang usia 35-49 tahun yang mendengarkan radio selama lebih dari 18 jam dari total keseluruhan pendengar. 

Disusul dengan Baby Boomers (50-65 tahun) dengan 17 jam 20 menit, Silent Generation (65 tahun ke atas) dengan 16 jam 22 menit, Millenials (15-34 tahun) 15 jam 37 menit, dan Generasi Z (10-14 tahun) yang menghabiskan waktu mendengarkan radio lebih dari 13 jam di setiap minggunya. 

Survei juga menunjukkan bahwa waktu mendengarkan radio pada Generasi X di tahun 2016 ini menunjukkan peningkatan dari sebelumnya hanya 16 jam 18 menit di 2014 dan 17 jam 39 menit di 2015.

Hasil temuan Nielsen Radio Audience Measurement pada kuartal ketiga 2016 menunjukkan bahwa 57 persen dari total pendengar radio berasal dari Generasi Z dan Millenials atau para konsumen masa depan. 

Saat ini 4 dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal yaitu mobile phone.


Nielsen Radio Audience Measurement mencatat bahwa meskipun internet tumbuh pesat, tidak berarti bahwa jangkauan akan pendengar radio menjadi rendah. 

Kendati penetrasi media televisi (96 persen), media luar ruang (52 persen) dan Internet (40 persen) masih tinggi namun media radio masih terbilang cukup baik di angka 38 persen pada kuartal ketiga 2016.

Angka penetrasi mingguan menunjukkan bahwa media radio masih didengarkan oleh sekitar 20 juta orang konsumen di Indonesia. Para pendengar radio di 11 kota di Indonesia yang disurvei Nielsen setidaknya menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari menyimak siaran radio.

Jika ada asumsi yang muncul bahwa radio hanya didengarkan oleh generasi usia yang lebih berumur, ini bertolak belakang dengan hasil temuan Nielsen Radio Audience Measurement kuartal ketiga 2016. 

Hasil Survey Nielsen menunjukkan bahwa justru, 57 persen pendengar radio adalah konsumen masa depan yang berada pada usia yang relatif muda.

Kontribusi pendengar radio ini didominasi oleh Millenials 38 persen, Generasi X dengan 28 persen, dan Generasi Z 19 persen. Sementara pendengar radio pada Generasi Baby Boomers dan Silent Generation relatif lebih sedikit, masing-masing yang hanya berkontribusi sebesar 13 persen dan 2 persen.

Saat ini 4 dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal yaitu mobile phone. Internet tidak sepenuhnya mengambil alih peran radio dari para pendengarnya.

Media radio lebih menyasar pada para pendengar lokal dan bersaing sangat ketat dengan internet. Di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Banjarmasin, Makassar dan Palembang bahkan penggunaan radio melampaui internet.

Radio masih dianggap sebagai media berbasis komunitas, sehingga pesan komunikasi yang tersampaikan melalui radio biasanya disesuaikan dengan pendengar yang lebih spesifik dan dirancang khusus untuk dapat menyesuaikan kebutuhan penduduk di kota-kota tertentu. 

Radio dan internet pun dapat saling melengkapi karena para pendengar radio ini juga mengakses internet, sehingga internet dapat menjadi platform bagi radio untuk menjangkau mereka.

Temuan Nielsen Radio Audio Measurement 2016 menunjukkan bahwa tingkat penetrasi radio pada konsumen, angka tertinggi berada di kota Palembang dengan 97 persen, disusul oleh pendengar di kota Makassar dengan 60 persen, Bandung (54 persen), Banjarmasin (53 persen) dan Yogyakarta (51 persen).

Radio tidak lagi didengarkan melalui perangkat radio saja, tetapi kini perilaku pendengar telah berubah menjadi mengedepankan teknologi dan fleksibelitas dalam mendengarkan radio. 

Radio kini beralih menjadi media yang lebih personal bagi masing-masing konsumen. Tiga kota terbesar dari konsumen yang mendengarkan radio dari perangkat mobile mereka berada di kota Makassar (69 persen), Medan (44 persen) dan Jakarta (38 persen)

Rumah masih menjadi tempat utama untuk mendengarkan radio bagi 96 persen pendengar radio atau sekitar 19 juta orang. Mobil merupakan tempat yang potensial bagi para pendengar radio namun, jumlah pendengar yang mendengarkan radio dari mobil hanya mencapai 1,8 juta orang di kuartal ketiga tahun 2016, dengan 1,4 juta di antaranya mendengarkan radio di rumah dan di mobil.

Program musik dangdut masih populer di kalangan Generasi X dan Baby Boomers yang merupakan pendengar dewasa. Selain 41 persen dari Generasi X penikmat musik dangdut juga datang dari Generasi Baby Boomers (31 persen) dan Silent Generation (13 persen).

Namun di kalangan pendengar radio muda, musik pop Indonesia lebih popular dibandingkan dangdut. Pada Generasi Z dan Millenials, berturut-turut 49 persen dan 39 persen menyukai musk pop Indonesia, sedangkan penikmat program musik dangdut masing-masing sebesar 17 persen dan 33 persen.

Baik program musik pop-indo dan Dangdut juga memiliki segmen pendengarnya masing-masing dari sisi pekerjaan mereka. Musik pop-indo menguasai 51 persen pendengar yang merupakan pekerja kantoran, dan 49 persen dari pelajar dan mahasiswa.

Sementara pendengar program musik dangdut cenderung berprofesi pengusaha kecil menengah (43 persen), ibu rumah tangga (39 persen) dan pekerja kerah biru (36 persen). Pada umumnya, program music Pop Indo berhasil menyasar segmen kelas menengah ke atas, sedangkan program musik dangdut berahasil di segmen menengah ke bawah.

Seiring dengan durasi mendengarkan radio yang naik, iklan di radio terus meningkat di semester pertama tahun 2016. Pendapatan iklan mencapai puncaknya menjelang bulan ramadhan pada bulan Mei dan Juni 2016.

Kesimpulan

Radio masih bertahan di era internet saat ini. Pendengarnya masih ada. Kemampuan beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang menjadi kunci bagi masa depan industri radio dalam mempertahankan pangsa pasar pendengar dan mendatangkan omset bisnisnya. 

Fakta Singkat

Hari Radio Nasional:
11 September

Frekuensi radio:
SW (3–30 MHz)
AM (535 – 1605 kHz)
FM (88 – 108 MHz)
Satelit (S-Band, C-Band, Ku-Band)

Teknologi terkini:
Streaming radio/Internet Radio

Era Puncak Industri Radio:
1970-1990 (sebelum era tv nasional)

Program Legendaris:
Sandiwara Radio
Musik

Pangsa Pasar:
38% pendengar radio (Nielsen,2016)

Rata-rata durasi mendengarkan radio:
16 jam per minggu (Nielsen)
139 menit per hari (Nielsen)

Belanja iklan:
Rp947 Milyar (2020)

Sumber: Kompaspedia

0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post