Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api 23-24 Maret 1946

Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api 23-24 Maret 1946

Kota Bandung memiliki catatan sejarah tersendiri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, sejak era penjajahan Belanda hingga Jepang. 

Salah satu peristiwa besar di Bandung yang akan selalu tercatat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia adalah pembungihangusan Kota Bandung yang dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api.

Di era penjajahan Hindia-Belanda, Kota Bandung dipilih menjadi Ibu Kota Hindia-Belanda. Alasannya, Bandung merupakan wilayah srategis di Indonesia, terutama di Pulau Jawa.

Itu pula sebabnya Belanda membangun beberapa gedung penting di Bandung, seperti Gedung Sate, yang akan dipakai sebagai kantor Gubernur Jenderal, Kantor Pos, pabrik senjata, dan kantor pertambangan juga dipindahkan ke Bandung. 

Kekuatan tentara di Indonesia, terutama di Jakarta dan Surabaya, pun dipindahkan ke Bandung, salah satunya Pangkal Angkatan Laut (Lanal Bandung), menjadi penegasan bukti nyata keseriusan Pemerintah Hindia-Belanda demi mewujudkan Kota Bandung sebagai ibu kota.

Namun, pemerintah Hinda-Belanda memilih menyerah dalam mempertahankan Bandung ketika Jepang telah menguasai Bandara Kalijati dan akan membom Bandung.

Kronologi 2 ultimatum sebelum Bandung Lautan Api

Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam kemerdekaan ini, Indonesia mendirikan Tentara Indonesia. 

Terbentuknya tentara Indonesia ini terbagi dari dua sumber daya manusia. Sumber pertama dari mantan Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dan sumber kedua yakni mantan Pembela Tanah Air (PETA).

KNIL isinya sebagian besar oleh orang pribumi Indoensia sebagai prajurit rendahan, twtapi ada pula yang menjadi perwira meski jumlahnya tak seberapa dibandingkan tentara Belanda.

Salah satu tokoh mantan KNIL yang menjadi bagian tentara Indonesia kala itu Kolonel Jenderal Ahmad Haris Nasution, dan Mayjen Didi Kartasasmita. 

AH Nasution adalah lulusan dari sekolah tentara tinggi di Bandung, sedangkan Mayjen Didi dulunya merupakan senior Sultan Hamid II di Akademi Militer Kerajasn Belanda (KMA) Breda.

Dalam Tentara Indonesia sendiri masih banyak perbedaan-perbedaan struktural dalam hal pemikiran serta mental. Perbedaan inilah yang akan berpengaruh pada saat Bandung Lautan Api terjadi dan mengapa Bandung bisa dibakar.

Penulis buku Saya Pilih Mengungsi dari Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung, Ratnayu Sitaresmi, menjelaskan, setelah Indonesia proklamasi, Inggris datang. 

Kedatangan Inggris bukanlah sebagai pahlawan kesiangan dalam menengahi perseteruan antara Belanda dan Inggris, melainkan menambah keruh suasana di Kota Bandung.

Belanda dan Inggris akhirnya bersekutu dengan membentuk organisasi yang bernama ABDA. ABDA ini terdiri dari Amerika, British, Dutch, dan Australia.

"Maksud dari kerja sama antara Belanda dan Inggris adalah untuk melucuti tentara-tentara Jepang, tetapi Belanda enggan melepaskan Indonesia, dan salah satunya adalah ingin kembali merebut Bandung," kata Ratna, Senin (22/3/2021).

Tentara Indonesia yang menjaga di wilayah Bandung membuat onar di Bandung, kota yang sangat dipelihara oleh Pemerintah Belanda. 

Atas keonaran inilah maka Inggris mengeluarkan ultimatum pertama kepada tentara Indonesia, terutama di bagian Bandung Utara, untuk mundur ke Selatan dengan batasnya adalah rel kereta api.

Alhasil, dari ultimatum itu Bandung terbagi menjadi dua bagian, yaitu Utara dan Selatan. Kala itu, seluruh Tentara Indonesia dan para pendukungnya berkumpul di Selatan.

Namun, strategi ini pada kenyataannya adalah blunder tersendiri bagi Inggris dan Belanda.

"Tadinya strategi ini diharapkan dapat menyelamatkan Bandung, bisa mengurung Tentara Indonesia, tapi pada kenyataannya strategi itu malah melemahkan tentara Inggris dan Belanda di Utara, karena pasokan bahan-bahan pokok dari masyarakat yang biasa menjadi sumber mereka itu berkurang drastis, jadi mereka kehilangan pasokan, jadinya mereka mengirim pasokan dari Jakarta, bukan dari Bandung langsung," ujar Ratna.

Selain itu, pihak Tentara Indonesia juga belum menyerah dalam merebut kembali Bandung, sehingga serangan-serangan ke Utara pun terjadi. Atas kejadian ini, lahirlah ultimatum yang kedua dari Inggris.

Terdapat perbedaan antara ultimatum pertama dan kedua. 

Ultimatum pertama Inggris langsung berbicara dengan komandan yang ada di Bandung, tetapi pada saat ultimatum kedua, Inggris melalui Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) mengatakannya langsung kepada Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir.

"Pada 17 Maret 1946 Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jendral Sir Philip Christison memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir, supaya memerintahkan pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 km dari pusat kota, hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil, yang diperbolehkan tinggal," jelas Ratna.

Batas ultimatum kedua ada pada 24 Maret 1946 pukul 24.00 WIB. Apabila ultimatum tidak dilaksanakan, maka Inggris akan memborbardir Bandung Selatan, ini dianggapnya sebagai gertakan karena Belanda juga tidak mau kota kesayangannya usak. Kemudian PM Sutan Sjahrir menerima tuntutan itu

Pertimbangan Sutan Sjahrir pada saat itu adalah karena sebuah negara yang baru dibangun Tentara merupakan modal berharga untuk pemerintahan. Akan beda cerita ketika dipaksakan untuk perang, maka Tentara Indonesia akan habis saat perang.

Inilah yang dimaksud dengan adanya dua kerangka berpikir. Bagi tentara yang merupakan lulusan sekolah tentara, mereka berpikir bahwa mereka mau berdiplomasi, mau bertarik ulur dengan ultimatum Inggris, sementara tentara dari lulusan "mantan PETA" mereka lebih mendahulukan keberanian untuk tidak takut kalah.

Jadi, ada dua kubu di dalam TNI. Dan ketika Ahmad Nasution diwawancarai, beliau mengatakan, beliau harus mempertimbangkan kedua belah pihak ini yang mana yang bisa menguntungkan.

Lalu dilakukanlah rapat-rapat pada 23 Maret 1946 di Bandung. Pengumuman tidak hanya dari tentara, tetapi juga dari Wali Kota Bandung saat itu, R. Syamsoerizal yang isinya sama seperti ultimatum kedua Inggris.

Namun pada kenyataannya, dengan adanya semangat yang menggelora dan beredarnya isu-isu sensitif pada masa itu, siapa yang tidak menginggalkan Bandung akan disebut sebagai pronika (tentara Belanda yang masih di Indonesia yang kembali merebut Indonesia) dan bagi yang mengungsi itu pro Indonesia. Pronika ini risikonya adalah nyawa, bisa dibunuh, disingkirkan, dicap sebagai pengkhianat.

TNI ini didukung oleh laskar-laskar sipil yang bukan TNI resmi, tetapi membawa senjata meski hanya bambu runcing. 

Padahal saat yang sama, Wali Kota Samsoerizal sudah memberi tahu kepada para laskar sipil untuk tidak mengungsi. Dalam rapat-rapat yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Nasution dan laskar-laskar sipil dan beberapa batalion memberikan usulan untuk membakar Bandung, telah disepakati untuk tidak memberikan Bandung secara mentah-mentah.

Di sisi lain, Kolonel Nasution mendinginkan suasana dan kembali kepada jalur untuk taat kepada perintah pemerintah sipil. Kata

-kata mentaati pemerintah sipil itu adalah pertanda atau simbol bahwa Negara Republik itu terbentuk. NKRI itu dipimpin oleh pemerintah sipil yang memiliki struktur ketentaraan sebagai pendukung tentara. Artinya, siapa pun yang ada di bawah pemerintahan sipil harus mentaati pemerintahan sipil tersebut.

Kronologi pembakaran dua hari Bandung Lautan Api

Pada saat rapat, diputuskan rencana 24 Maret 1946 pukul 00.00 akan ada ledakan pertama dengan granat di Gedung Kantor BRI, lokasinya ada di pojokan sebelah Selatan dari alun-alun sebelah Gedung Pendopo Wali Kota, dahulu bernama Indische Restoran. 

Lalu kantor-kantor di Bandung Selatan itu akan dihancurkan/dibakar. Jadi, TNI sudah diberi bekal granat dan bom molotov. 

Namun, rencana akan ada ledakan pukul 00.00, ternyata pukul 20.00 WIB (23 Maret 1946) itu sudah ada ledakan di Indische Restoran, dan belum ada yang tahu siapa yang meledakkannya. 

Akibat ada ledakan pukul 20.00, maka rencana pukul 00.00 tanggal 24 batal dan rencana dimajukan. 

Semua tentara maju membakar gedung-gedung. Gedung-gedung yang dibakar di sekitar alun-alun adalah Kantor Pos yang digranat dan diberi molotov.

Yang menarik dari pembakaran Kantor Pos, dahulu belum ada korek api, jadi mereka menggunakan batang kayu yang ujungnya dikasih lumlum (getah pohon). 

Pun dengan belerang yang digesek dengan besi, lalu api yang muncul dikenakan ke lumlum tadi sehingga kayu yang terbakar dimasukkan ke botol berisi bensinnya.

Kemudian sebelah timur alun-alun (sekarang mal), juga dibakar karena dulu merupakan bioskop. Jadi, ada beberapa gedung yang hancur hanya dari kaca dan kusen, karena betonnya kokoh jadi tidak terbakar habis, tetapi Bandung tetap membara, api tetap ada.

Lalu pembakaran juga meliputi markas-markas tentara, rumah-rumah yang dibangun dari kayu. Masyarakat ikut andil dalam pembakaran. 

Gedung-gedung startegis yang menjadi target pembakaran memang menjadi tugas dari TNI, masyarakat fokus ikut membakar rumah-rumah dan markas-markas kecil.

Sebetulnya, masyarakat sipil ini sudah mengungsi dari siang hari pada 23 Maret 1946, sudah ada yang mengungsi dan tentara-tentara masih ada di dalam kota.

Ada cerita dari tentara pelajar bernama Dakarnas, ketika diwawancarai oleh Tim Paguyuban Pelestarian Kebudayaan Bandung, pada 5 Juni 1997:

Saya mendapat perintah pembakaran jam 22.00 (23 Maret 1946) teman-teman saya masih memasang dinamit dan mempersiapkan pembakaran. 

Sejak pukul 15.00 sampai 20.00 masih persiapan dan pemasangan, karena masih ada yang belum selesai, tapi tiba-tiba ada ledakan pada 20.00, para pejuang lebih memerhatikan aba-aba ledakan pertama ketimbang memerhatikan jam, maka mulailah pembakaran dan ledakan, tetapi banyak ledakan yang gagal karena belum selesai dipasang dan alat-alatnya macet, dan sebenarnya kami kecewa banyak gedung-gedung vital yang tidak meledak.

Sampai keesokan harinya, 24 Maret 1946 pukul 02.00 WIB, Kolonel Nasution bercerita sudah sampai di daerah bukit-bukit tinggi di Bandung Selatan. Ia melihat ke arah Bandung. Kota itu dipenuhi oleh merah api menyala.

"Perintah mundur dari kota Bandung dilaksanakan pas Magrib, waktu itu saya sedang memindahkan pemancar radio dari Rancaekek ke Ciparay, terus ke Majalaya, Garut, dan Tasikmalaya, menggunakan truk rampasan dari burka, saya tidak melihat suasana kota pada saat itu, tapi terlihat dari Majalaya langit di Bandung tampak merah sekitar pukul 00.00 sampai shubuh [24 Maret 1946]," ujar Mashudi, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, kepada Paguyuban Pelestarian Kebudayaan Bandung, pada 24 Januari 1997. (AB)


0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post