Sejarah Benjang, Beladiri Gulat Asal Ujungberung

Benjang adalah jenis kesenian tradisional Indonesia yang memadukan seni dan beladiri yang berkembang di Kecamatan Ujungberung, kota Bandung. Benjang sudah berkembang sejak akhir abad ke-19.

Gulat Benjang Ujungberung

Mengutip laman Kebudayaan Kemendikbud, Benjang telah dikenal oleh masyarakat Ujungberung sejak akhir abad ke-19 sebagai sebuah permainan yang dilakukan di amben/bale yang disebut “sasamben” oleh para bujang yang berarti anak lelaki/atau budak perkebunan kopi. 

Karena itu, seni permainan ini diberi nama “sasamben budak bujang” atau disingkat “BENJANG”. Jadi, benjang adalah singkatan dari sasamben budak bujang atau "arena para jejaka".

Awal abad ke-20 seni Benjang berasimilasi dengan seni terebangan (seni musik bernapaskan Islam yang memainkan terebang, sejenis rebana sebagai alat musiknya) dan seni gedut (seni beladiri hasil pengembangan dari seni rudat) sehingga berkembang menjadi seni beladiri yang dimainkan di pekarangan rumah, sawah atau tanah lapang. 

Saat itu seni benjang sudah berfungsi sebagai ajang silaturahmi antar warga. Maka tahun 1923, seni ini berkembang ke bentuk seni pertunjukan gulat tradisional yang dinamakan “Benjang Gelut” (gelut = berkelahi).

Seni Benjang Gelut ini umumnya dimainkan di malam hari, karenanya pada siang hari harus dilakukan terlebih dahulu wawaran (pemberitahuan), karena waktu itu jarak antar kampung masih berjauhan. 

Wawaran dilakukan dengan menabuh waditra (alat musik benjang) di sekitar lokasi yang akan dijadikan arena pertunjukan, terutama di tempat hajatan khitanan anak dan pernikahan. 

Bentuk wawaran ini kemudian dilakukan berkeliling kampung sambil diiringi beberapa proferti seni lain, seperti kuda lumping, bangbarongan (salah satu seni barong) dan kesweh (dua orang yang berperilaku seperti kakek dan nenek dengan mengenakan topeng terbuat dari kertas). 

Maka tahun 1938 seni benjang berkembang ke bentuk seni arak-arakan yang disebut “Benjang Helaran”, yang berfungsi untuk mengarak anak khitan.

Pada masa durasi waktu pertunjukkan antara Benjang Helaran (yang yang dimainkan dari pagi hingga menjelang sore) menuju ke Benjang Gelut (yang dimainkan malam hari), terdapat jeda waktu cukup panjang. 

Karena itu seniman benjang helaran mulai mengembangkan seni benjang bentuk lain, yakni seni “Tari Topeng Benjang”. Itu terjadi pada tahun 1941.

Bila pada Benjang Gelut sebagai bentuk silaturahmi antar manusia, maka pada Seni Benjang Helaran dan Topeng Benjang merupakan pengejawantahan hubungan antar manusia dan Sang Pencipta. 

Dengan begitu seni benjang memiliki filosofis “hambluminanas, hablumin-Alloh”, menjaga hubungan baik antar manusia dan manusia, dan antar manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Tahun 1955 s/d 1965, adalah jaman keemasan seni benjang. Waktu itu seni benjang dimainkan 24 jam penuh, dari Benjang Helaran (pagi), ke Topeng Benjang (sore), hingga Benjang Gelut (malam sampai menjelang subuh). Bahkan Tari Topeng Benjang berkembang menjadi pertunjukkan sandiwara tradisional. Saat ini seni Benjang tidak dimainkan lagi menjadi suatu pertunjukkan yang utuh, karena alasan ekonomis.

Permainan benjang umumnya dilakukan oleh laki-laki remaja dan dewasa. Walaupun demikian, orang yang telah berusia lanjut pun diperbolehkan, asalkan atas kemauannya sendiri. Para pemain benjang biasanya tergabung dalam sebuah kelompok yang berasal dari satu perguruan. Setiap kelompok benjang jumlah anggotanya antara 20–25 orang.

Waditra (musik pengiring) seni Benjang, terdiri dari 4 buah terebang (indung, tempas, kemprang dan kempring), satu set kendang (gendang), kecrek dan tarompet (terompet).

Sejarah Benjang

Menurut Sekretaris Umum Perkumpulan Benjang Jawa Barat, Agus Nurrohman, awalnya, sekelompok pemuda yang punya hobi beladiri membentuk perkumpulan berkedok seni melalui jalur agama. 

"Kedok ini dibuat lantaran rezim kolonial tak menghendaki pemuda inlander bebas berlatih beladiri. Rezim khawatir, inlander bisa menghimpun kekuatan dan memicu pemberontakan di Karesidenan Ujungberung," katanya kepada Liputan6.com.

Saat larangan diberlakukan, surau dan pesantren mulai menjamur di Priangan. Rudat, tarian yang tumbuh bersamaan dengan penyebaran Islam di Nusantara, menjadi wahana pemuda untuk memadukan kesenian dan beladiri.

Perpaduan seni dan beladiri ini tumbuh dari pesantren dan menjadi sebuah permainan. Seperti dodogongan (permainan saling mendorong menggunakan kayu penumbuk padi), seredan (permainan saling mendesak tanpa alat hingga salah satu pemain keluar dari lapangan), dan mumundingan (gerakan saling mendorong menggunakan kepala).

Permainan tersebut terus berkembang dan banyak dimainkan anak laki-laki. Dari permainan ini, benjang lahir. 

"Artinya, benjang itu dulunya bukan beladiri, tapi permainan," kata Iman Firmasyah (38), seorang pelatih benjang di Kampung Ciborelang, Cileunyi --dahulu kawasan Ciborelang masuk dalam Karesidenan Ujungberung.

Dalam perjalanannya, benjang mengalami banyak modifikasi. Benjang tak semata permainan dan beladiri. Ada unsur hiburan yang kemudian hadir dalam seni tradisional ini.

Umumnya, masyarakat di Kecamatan Ujungberung mengenal iringan musik benjang ini sebagai benjang helaran, sebagai pembeda dari benjang gulat. Benjang helaran ini menggabungkan iringan musik waditra dan bangbarongan dan dihelat pagi hingga sore hari.

"Musik ini untuk ngabewarakeun (memberi tahu) ada benjang, dan menyemangati tukang benjang pas main malam hari," ujar Adin Sutardi (60), tukang benjang sekaligus pegiat benjang helaran.

Benjang terus menjadi permainan, kesenian, sekaligus beladiri, yang digemari masyarakat di Karesidenan Ujungberung. Apalagi, ada nilai tradisi yang diusung benjang.

Namun, Benjang yang saat lahir dilarang pemerintah kolonial, harus kembali dilarang saat zaman Orde Baru. Musababnya, benjang dianggap jadi sumber tawuran di Kecamatan Ujungberung pada 1970-an.

Apalagi, tawuran sampai melibatkan warga dan anggota TNI. "Sampai ramai perang antara Ujungberung dan Seni Pora (anggota TNI)," ucap Abdul Gani, Ketua Paguyuban Benjang Jawa Barat.

Hampir dua dekade lebih, benjang gulat absen dipertunjukkan di Alun-Alun Ujungberung. Hingga akhirnya, Orde Baru tumbang dan menyisakan harapan buat pegiat benjang.

Awal 2000, benjang gulat kembali bisa disaksikan di depan umum, tepatnya di Alun-Alun Ujungberung.*


0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post