Wartawan Bodong vs Wartawan Profesional

Wartawan Bodong vs Wartawan Profesional


MASYARAKAT mengenal istilah wartawan bodong, wartawan abal-abal, wartawan gadungan, atau wartawan palsu. 

Sebutan lainnya: wartawan muntaber (muncul tanpa berita), wartawan tanpa surat kabar (WTS), wartawan bodrex (karena biasanya bergerombol), dan wartawan amplop.

Wartawan bodong adalah orang yang mengaku wartawan padahal tidak bekerja di sebuah media massa. 

Banyak juga wartawan yang bekerja di sebuah media, namun menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan pribadi, misalnya memeras atau "memelas" minta uang kepada narasumber.

Nah, berbeda dengan profesi wartawan, di profesi penyiar tidak dikenal istilah penyiar bodong atau penyiar palsu. 

Kayaknya gak ada orang yang berani mengaku sebagai penyiar jika dia memang bukan penyiar atau tidak siaran di radio mana pun.

Sebabnya, benar-tidaknya seseorang sebagai penyiar mudah dilacak, yaitu siaran di radio mana, kapan dia siaran, dan siaran di acara apa.

Wartawan juga bisa dilacak medianya apa, tulisannya mana, alamatnya di mana, manun nama wartawan 'kan bisa anononim, alias, atau inisial saja dalam berita.

Masyarakat diminta berhati-hati menghadapi orang yang mengaku wartawan. Wartawan profesional dijamin memiliki identitas (ID card), nama dan alamat medianya jelas, dan tidak akan mengganggu seperti minta uang.

Cara Menyikapi Wartawan Bodong

Menurut Dewan Pers, wartawan gadungan atau wartawan bodrek tentu saja bukanlah wartawan dalam arti sebenarnya. Mereka hanya menunggangi pers untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

"Cuma berbekal kartu pers, atau bukti lembaran suratkabar yang hanya terbit satu-dua edisi, mereka mendekati narasumber dengan alasan ingin wawancara namun ujungnya meminta uang. Bahkan tak jarang dengan cara pemerasan."

"Pemerasan adalah tindakan kriminal yang dapat langsung dilaporkan ke polisi. UU No.40/1999 tentang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik tidak akan melindungi praktik pemerasan berkedok wartawan ini."

Wartawan profesional akan menaati kode etik jurnalistik, antara lain tidak menerima suap atau menyalahgunakan profesi.

Dijelaskan Dewan Pers, profesi wartawan bisa dilihat dari berbagai aspek. 

Pertama, dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur. 

Dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

Jika ada orang berniat mencuri, merampok, atau membodohi masyarakat dengan bermodal kamera atau seragam wartawan, maka dia bukan wartawan. 

Wartawan gadungan suka mendatangi, misalnya, orang yang tidak paham tentang siapa dan apa pekerjaan wartawan. Atau mendatangi orang yang sebenarnya paham jurnalistik dan aspek hukum pers, tetapi karena orang itu bermasalah, maka ikut menjadi bagian dari wartawan gadungan. Ada aspek saling memanfaatkan. 

Orang itu bisa menjadi perahan atau sebaliknya si wartawan menjadi penyelamatnya.

Ada wartawan bekerja di media yang jelas tetapi meminta uang kepada narasumber usai meliput. Bagaimana menyikapinya?

Kalau wartawan bekerja secara profesional ia tidak mau meminta amplop dari masyarakat. Wartawan yang profesional biasanya bekerja di perusahaan pers yang sehat. 

Ciri perusahaan pers yang sehat, mereka memiliki pembaca, pendengar atau pemirsa yang mau membeli atau menonton. Sehingga ada pemasang iklannya. Mereka memiliki kredibilitas dan dapat menggaji wartawannya secara wajar.

Selama ini rendahnya kesejahteraan banyak dijadikan alasan wartawan untuk meminta amplop kepada narasumber. Apakah itu dibenarkan?

Kalau ada orang mengaku wartawan, kemudian meminta uang kepada narasumber dengan alasan gajinya tidak mencukupi, sebaiknya ia mundur saja dari profesi wartawan. Perilakunya mencederai kehormatan profesi wartawan.

Di satu pihak ada wartawan yang nakal. Di lain pihak ada masyarakat atau pejabat yang bermasalah dan menyediakan amplop untuk wartawan. Darimana memulai mengatasinya?

Adalah istilah garbage in garbage out: Kalau masuknya sampah akhirnya yang keluar juga sampah. 

Kalau ada masyarakat yang kehilangan akal, kemudian membuat perusahaan pers atau menjadi wartawan tanpa kompetensi apa pun di bidang pers, akhirnya produk yang dihasilkannya juga sampah.

Persoalan lainnya menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak terpuji, yang biasa disebut oknum ---meski bisa jadi sebenarnya bukan oknum tapi perilakunya telah struktural dan kurtural. 

"Kalau kita punya moral, etika, dan kompetensi, sedarurat apa pun kita tidak akan memilih menjadi wartawan gadungan atau amplop," demikian tegas Dewan Pers.

Takut sama wartawan

Banyak pihak, terutama kalangan pejabat, takut sama wartawan. Ini tidak beralasan. Mungkin yang ditakutkan adalah wartawan bodong atau wartawan yang melanggar kode etik.

Mungkin juga, sang pejabat memiliki masalah "abuse of power" sehingga takut ketahuan dan penyimpangannya diberitakan. 

Jadi, wajar "dicurigai" jika ada pejabat yang takut sama wartawan atau takut menghadapi media.

Jika pejabat "lurus" tanpa masalah, maka ia tidak akan takut sama wartawan atau media. Bahkan, pejabat yang baik dan paham jurnalistik, akan berani melawan wartawan bodong atau wartawan amplop. Pegangannya adalah penjelasan Dewan Pers di atas.

Wartawan adalah sebuah profesi bagi pemburu berita, atau biasa pula disebut sebagai juru warta, pembawa berita, newsgatter, pressman, komunikator massa, nyamuk pers,kuli tinta, dan pembela kepentingan rakyat. Dari segi inilah wartawan merupakanorang yang pekerjaannya mencari berita.

Tugas wartawan, sekali lagi, adalah mencari berita atau menulis berita, bukan mencari uang. Urusan mencari uang adalah tugas bagian marketing atau bagian iklan, bukan tugas wartawan.

Kalau soal wartawan bodong, wartawan profesional juga sangat geram terhadap mereka. Wartawan bodong atau wartawan amplop merusak citra wartawan.

Kenapa disebut wartawan bodrex?

Wartawan bodrex seharusnya adalah wartawan yang bekerja di media perusahaan bodrex, obat sakit kepala. Namun, pengertian wartawan bodrex adalah wartawan abal-abal, wartawan bodong, wartawan palsu, atau wartawan tidak profesional.

Kenapa wartawan gadungan disebut wartawna bodrex? Ini penjelasannya sebagaimana diberitakan Okezone.

Istilah wartawan Bodrex sejak dulu sudah sangat populer di masyarakat. Mereka merupakan wartawan gadungan yang tugasnya tak hanya menulis berita, namun juga memeras narasumber. Lantas, darimana istilah Bodrex itu muncul?  

Istilah wartawan bodrex muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka rata-rata tidak memiliki surat kabar alias wartawan tanpa surat kabar (WTS), atau terbitnya tak jelas. Disebut Bodrex lantaran selalu beramai-ramai jika mendatangi narasumber.

Dulu ada iklan obat sakit kepala Bodrex. Di iklan itu ada yang namanya pasukan Bodrex. Kerjanya beramai-ramai. Di iklan itu ada slogan "Bodrex datang, Bodrex menyerang". 

Nah, kerja dari situlah asal-usul istilah wartawan bodrex. Mereka datang dan menyerang narasumber.

Biasanya pasukan bodrex ini mendatangi narasumber dengan tujuan memeras. Jumlahnya beragam, mulai dari 5 sampai 10 orang.

Kalau jumlahnya rata-rata 5 sampai 10 orang. Sebelum mendatangi narasumber sasaran, mereka terlebih dulu mempelajari kasus yang melibatkan narasumber tersebut. Baru setelah itu, sasaran pun didatangi.

Saat sasaran didatangi, para wartawan Bodrex itu langsung menanyakan kasus atau istilahnya menyerang. Walhasil, saat narasumber terpojok, mereka lantas menawarkan solusi dengan bentuk uang.

Begitu uang diperoleh, mereka langsung pulang dan membagi hasilnya. Istilahnya menang.

Demikian ulasan tentang  Wartawan Bodong vs Wartawan Profesional. Ingat ya, tidak ada istilah penyiar bodong atau penyiar bodrex. Penyiar radio mah baik-baik semua dah! Amin...!!! 


0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post