Tantangan Radio Komunitas: Jangkauan, SDM, Hingga Biaya Operasional

Tantangan Radio Komunitas: Biaya Operasional

Radio komunitas (community radio) adalah lembaga penyiaran berbasis komunitas --dari, oleh, dan untuk komunitas.

Radio komunitas resmi mulai dikenal di Indonesia sejak keberadaannya mulai dimasukkan dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002. 

Radio komunitas pun mulai berkembang sejak itu. Perkembangan radio komunitas juga selalu dihubungkan sebagai buah dari reformasi 1998 yang ditandai dengan dibubarkannya Departemen Penerangan sebagai otoritas tunggal pengendali media di tangan pemerintah. 

Dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 radio komunitas termasuk dalam lembaga penyiaran komunitas. Dalam penjelasannya pada Pasal 21 ayat 1, lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia. 

Didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersil, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.

Radio komunitas memiliki peran yang cukup penting dalam mempromosikan budaya lokal tempat radio komunitas didirikan.

Karakteristik Radio Komunitas

Radio komunitas memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Nonprofit; karena semata-mata berjuang untuk kesejahteraan komunitas. Karenanya, radio komunitas tidak cocok bagi penyiar yang bertujuan mendapatkan honor atau duit.
  2. Kepemilikan dan kontrol ada pada komunitas: dalam hal ini dewan komunitas mempunyai kewenangan untuk memberi arah dan pertimbangan bagi siaran.
  3. Partisipasi aktif anggota komunitas
Prinsip-prinsip dalam pengoperasian radio komunitas, antara lain:
  1. Akses (kesempatan untuk menikmati siaran radio komunitas)
  2. Partisipasi aktif dan positif dari semua anggota komunitas.
  3. Memiliki kemampuan untuk Self Management
  4. Mendapat Mandat dari Komunitas
  5. Akuntabilitas (pertanggungjawaban kepada komunitas, bukan kepada pribadi atau elite).

Tantangan Radio Komunitas

Keberadaan radio komunitas ini dihadang sejumlah masalah di antaranya, keterbatasan frekuensi dan jangkauan. 

Radio komunitas saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz;
107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km. 

Masalah lain adalah minimnya partisipasi komunitas itu sendiri, faktor Sumber Daya Manusia (SDM), minimnya anggaran, terbatasanya infrastruktur, dan sebagainya.

Radius siaran radio komunitas hanya 2,5 km dari lokasi pemancar atau dengan daya pancar maksimum 50 watt (Pasal 5). 

Untuk daerah yang padat penduduk, radius siaran 2,5 kilometer tentu bisa menjangkau khalayak yang cukup besar, seperti di Jakarta. Untuk wilayah tidak padat penduduk sangat sulit untuk menjangkau khalayak yang besar. 

Namun, soal jangkauan siaran saat ini tidak jadi masalah. Radio komunitas memanfaatkan streaming untuk menjangkau pendengar di luar radius 2,5 KM. Bukan hanya pendengar di seluruh Indonesia, tapi bahkan juga seluruh dunia.

Jika dikelola dengan baik dan profesional, kualitas siaran radio komunitas bisa setara bahkan lebih menarik daripada radio komersial (radio swasta).

Jadi, dari segi jangkauan, radio komunitas relatif bisa bersaing dengan radio komersial yaitu dengan streaming.

Namun, dari sisi anggaran atau biaya operasional, radio komunitas masih terbentur regulasi "tidak boleh menyiarkan iklan". Radio komunitas hanya boleh menerima sponsor acara.

Sumber biaya harus berasal dari sumbangan, dan atau hibah, dan atau sponsor yang tidak mengikat.

Regulasi tidak boleh menyiarkan iklan ini menjadi kendala terbesar radio komunitas. Minimnya sumber dana membuat radio komunitas kesulitan membangun SDM, sarana, dan manajemen yang sehat. (Disarikan dari berbagai sumber).*


0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post